Bisnis

Harga Minyak Jatuh di Tengah Kekhawatiran Meningkatnya Covid-19 di China dan Inflasi Amerika

Harga minyak merosot lebih dari 2 dolar AS per barel pada hari ini Senin (13/6/2022), karena meningkatnya kasus Covid 19 di Beijing. Hal itu mempengaruhi permintaan minyak dari China. Kekhawatiran mengenai kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi Amerika Serikat (AS) juga memicu penurunan harga minyak dunia. Distrik terpadat di Beijing, Chaoyang, mengumumkan tes massal Covid 19, untuk meredakan wabah virus ini yang muncul minggu lalu. Tes massal akan berlangsung hingga Rabu (15/6/2022) mendatang.

Dilansir dari Reuters, minyak mentah Brent turun 1,86 dolar AS atau 1,5 persen, menjadi 120,15 dolar AS pada pukul 09.07 GMT. Sedangkan harga minyak mentah West Texas Intermediate AS turun 2,15 dolar AS atau 1,8 persen, menjadi 118,52 dolar AS. “Penurunan harga saat ini diperburuk oleh peringatan penyebaran 'ganas' virus COVID di Beijing oleh pejabat, menimbulkan keraguan pada pemulihan permintaan segera,” kata pialang minyak PVM, Tamas Varga.

Kekhawatiran mengenai kenaikan suku bunga lebih lanjut, diperkuat oleh data inflasi AS pada hari Jumat (10/6/2022) yang menunjukkan indeks harga konsumen AS naik 8,6 persen di bulan Mei, yang mendorong penurunan harga minyak. Tingginya inflasi tersebut membuat pasar waspada bahwa Federal Reserve (The Fed) dapat menaikkan suku bunga dan menyebabkan perlambatan ekonomi yang tajam. The Fed akan mengumumkan kebijakannya pada Rabu besok. Harga minyak melonjak pada tahun ini akibat invasi Rusia ke Ukraina, yang menambah kekhawatiran gangguan pasokan, dan karena pemintaan minyak dunia telah pulih setelah penguncian Covid 19.

Pada bulan Maret lalu, harga Brent mencapai 139 dolar AS, menjadi torehan tertinggi sejak tahun 2008. Pasokan minyak tetap ketat, dengan OPEC dan sekutunya tidak dapat memenuhi permintaan untuk meningkatkan produksinya secara penuh, seperti yang mereka janjikan karena kurangnya kapasitas yang diproduksi banyak produsen, sanksi terhadap Rusia, dan produski minyak di Libya juga terganggu karena adanya kerusuhan di negara tersebut. “Dinamika penawaran/permintaan tetap mendukung harga, kecuali pasar AS bergerak ke harga dalam resesi besar besaran,” kata broker perusahaan valuta asing OANDA, Jeffery Halley.